Minggu, 15 Februari 2009

pendidikan yang membebaskan

41
Tinjauan Teologis
INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual Edisi No. 8 - Semester Genap 2005
Paulo Freire adalah tokoh pendidikan yang sangat
kontroversial. Ia menggugat sistem pendidikan yang
telah mapan dalam masyarakat Brasil. Bagi dia, sistem
pendidikan yang ada sama sekali tidak berpihak pada
rakyat miskin tetapi sebaliknya justru mengasingkan
dan menjadi alat penindasan oleh penguasa. Karena
pendidikan yang demikian hanya menguntungkan
penguasa maka harus dihapuskan dan digantikan
dengan sistem pendidikan yang baru.
Sebagai jalan keluar atas kritikan tajam itu maka Freire
menawarkan suatu sistem pendidikan alternatif yang
menurutnya relevan bagi masyarakat miskin dan
tersisih. Kritikan dan pendidikan altenatif yang
ditawarkan Freire itu menarik untuk dipakai
menganalisis permasalahan pendidikan di Indonesia.
Walaupun harus diakui bahwa konteks yang melatarbelakangi
lahirnya pemikiran yang kontroversial
mengenai pendidikan itu berbeda dengan konteks
Indonesia. Namun di balik kesadaran itu, ada
keyakinan bahwa filsafat pendidikan yang ada di
belakang pemikiran Freire dan juga metodologi
pendidikan yang ditawarkan akan bermanfaat dalam
“membedah” permasalahan pendidikan di Indonesia.
Pandangan Paulo Freire Tentang Pendidikan.
Pandangan Paulo Freire tentang pendidikan tercermin
dalam kritikannya yang tajam terhadap sistem
pendidikan dan dalam pendidikan alternatif yang ia
tawarkan. Baik kritikan maupun tawaran konstruktif
Freire keduanya lahir dari suatu pergumulan dalam
konteks nyata yang ia hadapi dan sekaligus
merupakan refleksi filsafat pendidikannya yang
berporos pada pemahaman tentang manusia.
a. Konteks Yang Melatarbelakangi Pemikiran Paulo
Freire.
Hidup Freire merupakan suatu rangkaian perjuangan
dalam konteksnya. Ia lahir tanggal 19 September 1921
di Recife, Timur Laut Brasilia1. Masa kanak-kanaknya
dilalui dalam situasi penindasan karena orang tuanya
yang kelas menengah jatuh miskin pada tahun 19292.
Setamat sekolah menengah, Freire kemudian belajar
Hukum, Filsafat, dan Psikologi. Sementara kuliah, ia
bekerja “part time” sebagai instuktur bahasa Potugis di
sekolah menengah3. Ia meraih gelar doktor pada
tahun 1959 lalu diangkat menjadi profesor. Dalam
kedudukannya sebagi dosen, ia menerapkan sistem
pendidikan “hadap-masalah” sebagai kebalikan dari
pendidikan “gaya bank”. Sistem pendidikan hadap
masalah yang penekanan utamanya pada
penyadaran nara didik menimbulkan kekuatiran di
kalangan para penguasa. Karena itu, ia dipenjarakan
pada tahun 19644 dan kemudian diasingkan ke Chile.
Pengasingan itu, walaupun mencabut ia dari akar
budayanya yang menimbulkan ketegangan5,tidak
membuat idenya yang membebaskan “dipenjarakan”,
tetapi sebaliknya ide itu semakin menyebar ke seluruh
dunia. Ia mengajar di Universitas Havard, USA pada
tahun 1969-1970. Ia pernah menjadi konsultan bidang
pendidikan WCC.
Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lahir dari
pergumulannya selama bekerja bertahun-tahun di
tengah-tengah masyarakat desa yang miskin dan
tidak “berpendidikan”6. Masyarakat feodal (hirarkis)
adalah struktur masyarakat yang umum berpengaruh
di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat
feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok
antara strata masyarakat “atas” dengan strata
masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi
penindas masyarakat bawah dengan melalui
kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan7, karena itu
menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi
semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan
ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas
itu.
Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu,
lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan
kebudayaan “bisu”8. Kesadaran refleksi kritis dalam
budaya seperti ini tetap tidur dan tidak tergugah.
Akibatnya waktu lalu hanya dilihat sebagai sekat hari
ini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam “hari
ini” yang panjang, monoton dan membosankan9
sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan
datang belum disadari10. Dalam kebudayaan bisu yang
demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitu
saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan,
ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya
kesadaran tentang ketertindasan mereka11. Itulah
dehumanisasi karena bahasa sebagai prakondisi
untuk menguasai realitas hidup telah menjadi
Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire
dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia
oleh Marthen Manggeng
42
Tinjauan Teologis
INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual Edisi No. 8 - Semester Genap 2005
kebisuan. Diam atau bisu dalam konteks yang
dimaksud Freire bukan karena protes atas perlakuan
yang tidak adil. Itu juga bukan strategi untuk menahan
intervensi penguasa dari luar. Tetapi, budaya bisu
yang terjadi adalah karena bisu dan bukan membisu.
Mereka dalam budaya bisu memang tidak tahu apaapa.
Mereka tidak memiliki kesadaran bahwa mereka
bisu dan dibisukan. Karena itu, menurut Freire untuk
menguasai realitas hidup ini termasuk menyadari
kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai
bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam
mengungkapkan realitas. Untuk itu, pendidikan yang
dapat membebaskan dan memberdayakan adalah
pendidikan yang melaluinya nara didik dapat
mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang
relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah
mengajar untuk memampukan mereka
mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari
luar termasuk suara sang pendidik.
Dalam konteks yang demikian itulah Freire bergumul.
Ia terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya
yang tertindas dan yang telah “dibisukan”. Pendidikan
“gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber
yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu.
Karena itulah, ia menawarkan pendidikan “hadapmasalah”
sebagai jalan membangkitkan kesadaran
masyarakat bisu.
b. Kritikan Paulo Freire Terhadap Pendidikan “Gaya
Bank”.
Dalam sistem pendidikan yang diterapkan di Brasilia
pada masa Freire, anak didik tidak dilihat sebagai
yang dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat sebagai
benda yang seperti wadah untuk menampung
sejumlah rumusan/dalil pengetahuan. Semakin
banyak isi yang dimasukkan oleh gurunya dalam
“wadah” itu, maka semakin baiklah gurunya. Karena
itu semakin patuh wadah itu semakin baiklah ia. Jadi,
murid/nara didik hanya menghafal seluruh yang
diceritrakan oleh gurunya tanpa mengerti12. Nara
didik adalah obyek dan bukan subyek. Pendidikan
yang demikian itulah yang disebut oleh Freire sebagai
pendidikan “gaya bank”. Disebut pendidikan gaya
bank sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak
memberikan pengertian kepada nara didik, tetapi
memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada
siswa untuk disimpan yang kemudian akan
dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan.
Nara didik adalah pengumpul dan penyimpan
sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya nara
didik itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya
daya cipta. Karena itu pendidikan gaya bank
menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan
penindasan terhadap sesamanya manusia.
Pendidikan “gaya bank” itu ditolak dengan tegas oleh
Paulo Freire. Penolakannya itu lahir dari
pemahamannya tentang manusia. Ia menolak
pandangan yang melihat manusia sebagai mahluk
pasif yang tidak perlu membuat pilihan-pilihan atas
tanggung jawab pribadi mengenai pendidikannya
sendiri13. Bagi Freire manusia adalah mahluk yang
berelasi dengan Tuhan, sesama dan alam. Dalam
relasi dengan alam, manusia tidak hanya berada di
dunia tetapi juga bersama dengan dunia14. Kesadaran
akan kebersamaan dengan dunia menyebabkan
manusia berhubungan secara kritis dengan dunia.
Manusia tidak hanya bereaksi secara refleks seperti
binatang, tetapi memilih, menguji, mengkaji dan
mengujinya lagi sebelum melakukan tindakan15. Tuhan
memberikan kemampuan bagi manusia untuk
memilih secara reflektif dan bebas. Dalam relasi
seperti itu, manusia berkembang menjadi suatu
pribadi yang lahir dari dirinya sendiri.
Bertolak dari pemahaman yang demikian itu, maka ia
menawarkan sistem pendidikan alternatif sebagai
pengganti pendidikan “gaya bank” yang ditolaknya.
Sistem pendidikan alternatif yang ditawarkan Freire
disebut pendidikan “hadap-masalah”.
c. Pendidikan “Hadap-Masalah”: Suatu Pendidikan
Alternatif.
Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan
alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari
konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah
yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan
hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara
terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada
dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas
dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada
nara didik supaya ada kesadaran akan realitas itu.
Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada
pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi
untuk berkreasi dalam realitas dan untuk
membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi
dan politik16.
Kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang
dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatu
tingkah laku kritis dalam diri nara didik. Freire
membagi empat tingkatan kesadaran manusia, yaitu17
:
1) Kesadaran intransitif dimana seseorang hanya
terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan
sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang
menindas.
2) Kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis.
Kesadaran ini terjadi dalam masyarakat berbudaya
43
Tinjauan Teologis
INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual Edisi No. 8 - Semester Genap 2005
bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran
ini adalah fatalistis. Hidup berarti hidup di bawah
kekuasaan orang lain atau hidup dalam
ketergantungan.
3) Kesadaran Naif. Pada tingkatan ini sudah ada
kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali
realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang
primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan diri
dengan elite, kembali ke masa lampau, mau
menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi
kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan
dialog18.
4) Kesadaran kritis transitif. Kesadaran kritis transitif
ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalahmasalah,
percaya diri dalam berdiskusi, mampu
menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog.
Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat
hubungan sebab akibat.
Bagi Freire pendidikan yang membebaskan adalah
pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis
transitif. Memang ia tidak bermaksud bahwa
seseorang langsung mencapai tingkatan kesadaran
tertinggi itu, tetapi belajar adalah proses bergerak dari
kesadaran nara didik pada masa kini ke tingkatan
kesadaran yang di atasnya.
Dalam proses belajar yang demikian kontradiksi gurumurid
(perbedaan guru sebagai yang menjadi sumber
segala pengetahuan dengan murid yang menjadi
orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Nara didik
tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yang
harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya
guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid
adalah sama-sama belajar dari masalah yang
dihadapi. Guru dan nara didik bersama-sama sebagai
subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru
bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang
memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman
dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu,
nara didik adalah partisipan aktif dalam dialog
tersebut.
Materi dalam proses pendidikan yang demikian tidak
diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam
buku paket tetapi sejumlah permasalahan.
Permasalahan itulah yang menjadi topik dalam diskusi
dialogis itu yang diangkat dari kenyataan hidup yang
dialami oleh nara didik dalam konteksnya sehari-hari,
misalnya dalam pemberantasan buta huruf. Pertamatama
peserta didik dan guru secara bersama-sama
menemukan dan menyerap tema-tema kunci yang
menjadi situasi batas (permasalahan) nara didik.
Tema-tema kunci tersebut kemudian didiskusikan
dengan memperhatikan berbagai kaitan dan
dampaknya. Dengan proses demikian nara didik
mendalami situasinya dan mengucapkannya dalam
bahasanya sendiri. Inilah yang disebut oleh Freire
menamai dunia dengan bahasa sendiri. Kata-kata
sebagai hasil penamaan sendiri itu kemudian dieja
dan ditulis. Proses demikian semakin diperbanyak
sehingga nara didik dapat merangkai kata-kata dari
hasil penamaannya sendiri.
d. Relevansi Pemikiran Freire dalam Konteks I
ndonesia.
Allen J.Moore mengatakan bahwa konsep Freire yang
dirumuskan dalam konteks Amerika Latin tidak bisa
diterapkan begitu saja dalam konteks yang berbeda
sebab situasinya dan permasalahannya tidak sama19.
Peringatan Moore ini adalah satu kendali supaya kita
tidak bertindak naif dalam menganalisis suatu
permasalahan dalam konteks yang khas. Hal itu
sekaligus menjadi peringatan supaya kritikan Freire
dapat dipakai secara kritis dalam menganalisis
permasalahan pendidikan di berbagai belahan dunia
termasuk di Indonesia.
Memang harus diakui bahwa konteks permasalahan
Amerika Latin, khususnya Brasilia tidak sama persis
dengan permasalahan dalam masyarakat Indonesia,
tetapi dalam banyak hal kita menemukan persamaan.
Masyarakat Indonesia yang terdiri atas suku-suku
adalah masyarakat hierarkis yang nampak dalam
strata sosial yang mempunyai sebutan khas di
berbagai daerah. Sebagai contoh adalah stratifikasi
sosial dalam masyarakat Toraja dan dalam
masyarakat Bali. Dalam masyarakat Toraja strata
sosial disebut “Tana’”. Tana’ Bulawan (strata tertinggi)
adalah pemilik budak (tana’ koa-koa) dan sekaligus
pemilik harta dan kekuasaan yang “mutlak”. Walaupun
strata sosial ini sudah tidak terlalu nampak tetapi justru
telah lahir suatu strata sosial baru yang prakteknya
hampir sama dengan feodalisme tradisional.
Pemegang kendali dalam feodalisme modern adalah
kelompok pedagang/pengusaha yang menguasai
ekonomi lebih dari setengah kekayaan yang ada.
Kelompok tersebut mengakumulasikan kekayaan
kurang lebih 80 % kekayaan Indonesia padahal
jumlah mereka tidak lebih dari 20 % dari jumlah
penduduk. Kedua kelompok “penindas” tersebut
semakin memperkokoh kekuasaannya sebab secara
praktik hanya mereka yang mampu menyekolahkan
anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi yang
sangat mahal dan terpola dalam sistem kekuasaan itu.
Generasi itulah yang kemudian menjadi pewaris
“tahta penindasan”. Kalau ada dari kelompok rakyat
kecil yang mampu mengecap pendidikan tinggi, ia
akan berubah menjadi pemegang kendali feodalisme
44
Tinjauan Teologis
INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual Edisi No. 8 - Semester Genap 2005
baru itu baik dalam rangka balas dendam maupun
dalam “penindasan” terhadap sesamanya kaum
“tertindas”.
Salah satu kritikan Freire adalah pendidikan yang
berupaya membebaskan kaum tertindas untuk
menjadi penindas baru. Bagi Freire pembebasan
kaum tertindas tidak dimaksudkan supaya ia bangkit
menjadi penindas yang baru, tetapi supaya sekaligus
membebaskan para penindas dari
kepenindasannya20.
Dalam proses belajar mengajar, pemerintah Republik
Indonesia telah mengupayakan untuk menerapkan
pendekatan cara belajar siswa aktif (CBSA), tetapi
hanya metodenya sajalah yang CBSA. Sementara
materi yang disampaikan masih merupakan barang
asing yang tidak lahir dari dalam konteks dimana
manusia itu ada sehingga pada akhirnya siswa
kembali menjadi “bank” penyimpanan sejumlah
pengetahuan. Memang siswa aktif belajar dan
mungkin berdiskusi dalam kelas tetapi yang
didiskusikan dan dipelajari dalam kelas adalah
sejumlah dalil dan rumus yang tidak punya hubungan
dengan kehidupannya. Lagi pula relasi guru-siswa
adalah pengajar dan yang diajar. Siswa adalah yang
belum tahu dan harus diberitahu sedangkan guru
adalah yang sudah tahu dan akan memberitahukan.
Pelaksanaan Pendidikan agama dalam gereja juga
tidak jauh berbeda dengan pendidikan dalam
sekolah-sekolah umum. Bahkan mungkin lebih
memprihatinkan sebab justru dalam gereja
pendekatan “indoktrinasi” lebih mendapat tekanan
yang dominan. Pengajaran di Sekolah Minggu dan
Katekisasi dan juga dalam kebaktian umum, peserta
didik atau kebaktian diisi dengan sejumlah doktrin
yang asing. Doktrin-doktrin religius yang dirumuskan
dalam konteks yang berbeda dengan konteks
Indonesia masih menjadi senjata andalan untuk
“membungkam” kreativitas iman anggota Jemaat.
Alkitab sebagai sumber pengetahuan iman belum
diupayakan untuk dibaca dan dipahami dalam
konteks masyarakat Indonesia. Bukankah itu semua
yang disebut oleh Paulo Freire dengan pendidikan
“gaya bank”?
Catatan Kaki
1Denis Colins, Paulo Freire His Life, Works and Thought
(New York: Paulist Press, 1977), p. 5.
2Sumaryo, “Pendidikan Yang Membebaskan” dalam
Martin Sardy, Mencari Identitas Pendidikan
(Bandung: Alumni, 1981), p. 29. Cf Aloys Maryoto,
“Pendidikan Sebagai Proses Penyadaran Menurut
Paulo Freire” dalam “Fenomena” Edisi 2/Th.V/1994,
p.18.
3Denis Colins, op.cit., p. 6.
4Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta:
LP3S, 1972), p. xii.
5Paulo Freire dan Antonio Faundez, Belajar Bertanya.
Pendidikan Yang Membebaskan (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1995), p. 6.
6Daniel S.Schipani, Religious Education Encounters
Liberation Theology (Alabama: Religious Education
Press, 1988), p. 12.
7Sumaryo, op. cit., p. 30.
8Aloys Maryoto, “Pendidikan Sebagai Proses
Penyadaran Menurut Paulo Freire” dalam “Fenomena”
Edisi 2/Th.V/1994, p. 18.
9Mudji Sutrisno, Pendidikan Pemerdekaan (Jakarta:
Penerbit Obor, 1995), p. 33.
10L. Subagi, “Kritik Atas: Konsientisasi dan Pendidikan.
Teropong Paulo Freire dan Ivan Illich”, dalam Martin
Sardy (ed.),Pendidikan Manusia (Bandung: Alumni,
1985), pp. 104-105.
11 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, pp. 1-4.
12Op. cit., p. 50.
13L. Subagi, op. cit.
14 Paulo Freire, Cultural Action For Freedom (Baltimore:
Penguin Book, 1970 ), p. 51.
15 Mudji Sutrisno, op. cit., p. 32.
16Daniel S. Schipani, Religious Education Encounters
Liberation Theology (Alabama: Religious Education
Press, 1988), p. 13.
17L.Subagi, op.cit., pp. 137-138. Cf. Mudji Sutrisno,
op.cit., pp. 41-42.
18Paulo Freire, Education For Critical Consciousness
(New York: The Seabury Press, 1973 ), p. 18.
19 Allen J.Moore, “Liberation and the Future of Christian
Education” dalam Jack L. Seymour and Donald E.Miller
(Ed.), Contemporary Approaches to Christian Education
(Nashville: Abingdon Press, 1984), pp. 106-110.
20Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, pp.10-12. Cf.
J.B. Banawiratma, Iman, Pendidikan dan Perubahan
Sosial (Yogyakarta: Kanisius, 1991), p. 73.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar