Minggu, 15 Februari 2009

pendidikan yang membebaskan

41
Tinjauan Teologis
INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual Edisi No. 8 - Semester Genap 2005
Paulo Freire adalah tokoh pendidikan yang sangat
kontroversial. Ia menggugat sistem pendidikan yang
telah mapan dalam masyarakat Brasil. Bagi dia, sistem
pendidikan yang ada sama sekali tidak berpihak pada
rakyat miskin tetapi sebaliknya justru mengasingkan
dan menjadi alat penindasan oleh penguasa. Karena
pendidikan yang demikian hanya menguntungkan
penguasa maka harus dihapuskan dan digantikan
dengan sistem pendidikan yang baru.
Sebagai jalan keluar atas kritikan tajam itu maka Freire
menawarkan suatu sistem pendidikan alternatif yang
menurutnya relevan bagi masyarakat miskin dan
tersisih. Kritikan dan pendidikan altenatif yang
ditawarkan Freire itu menarik untuk dipakai
menganalisis permasalahan pendidikan di Indonesia.
Walaupun harus diakui bahwa konteks yang melatarbelakangi
lahirnya pemikiran yang kontroversial
mengenai pendidikan itu berbeda dengan konteks
Indonesia. Namun di balik kesadaran itu, ada
keyakinan bahwa filsafat pendidikan yang ada di
belakang pemikiran Freire dan juga metodologi
pendidikan yang ditawarkan akan bermanfaat dalam
“membedah” permasalahan pendidikan di Indonesia.
Pandangan Paulo Freire Tentang Pendidikan.
Pandangan Paulo Freire tentang pendidikan tercermin
dalam kritikannya yang tajam terhadap sistem
pendidikan dan dalam pendidikan alternatif yang ia
tawarkan. Baik kritikan maupun tawaran konstruktif
Freire keduanya lahir dari suatu pergumulan dalam
konteks nyata yang ia hadapi dan sekaligus
merupakan refleksi filsafat pendidikannya yang
berporos pada pemahaman tentang manusia.
a. Konteks Yang Melatarbelakangi Pemikiran Paulo
Freire.
Hidup Freire merupakan suatu rangkaian perjuangan
dalam konteksnya. Ia lahir tanggal 19 September 1921
di Recife, Timur Laut Brasilia1. Masa kanak-kanaknya
dilalui dalam situasi penindasan karena orang tuanya
yang kelas menengah jatuh miskin pada tahun 19292.
Setamat sekolah menengah, Freire kemudian belajar
Hukum, Filsafat, dan Psikologi. Sementara kuliah, ia
bekerja “part time” sebagai instuktur bahasa Potugis di
sekolah menengah3. Ia meraih gelar doktor pada
tahun 1959 lalu diangkat menjadi profesor. Dalam
kedudukannya sebagi dosen, ia menerapkan sistem
pendidikan “hadap-masalah” sebagai kebalikan dari
pendidikan “gaya bank”. Sistem pendidikan hadap
masalah yang penekanan utamanya pada
penyadaran nara didik menimbulkan kekuatiran di
kalangan para penguasa. Karena itu, ia dipenjarakan
pada tahun 19644 dan kemudian diasingkan ke Chile.
Pengasingan itu, walaupun mencabut ia dari akar
budayanya yang menimbulkan ketegangan5,tidak
membuat idenya yang membebaskan “dipenjarakan”,
tetapi sebaliknya ide itu semakin menyebar ke seluruh
dunia. Ia mengajar di Universitas Havard, USA pada
tahun 1969-1970. Ia pernah menjadi konsultan bidang
pendidikan WCC.
Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lahir dari
pergumulannya selama bekerja bertahun-tahun di
tengah-tengah masyarakat desa yang miskin dan
tidak “berpendidikan”6. Masyarakat feodal (hirarkis)
adalah struktur masyarakat yang umum berpengaruh
di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat
feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok
antara strata masyarakat “atas” dengan strata
masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi
penindas masyarakat bawah dengan melalui
kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan7, karena itu
menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi
semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan
ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas
itu.
Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu,
lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan
kebudayaan “bisu”8. Kesadaran refleksi kritis dalam
budaya seperti ini tetap tidur dan tidak tergugah.
Akibatnya waktu lalu hanya dilihat sebagai sekat hari
ini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam “hari
ini” yang panjang, monoton dan membosankan9
sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan
datang belum disadari10. Dalam kebudayaan bisu yang
demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitu
saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan,
ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya
kesadaran tentang ketertindasan mereka11. Itulah
dehumanisasi karena bahasa sebagai prakondisi
untuk menguasai realitas hidup telah menjadi
Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire
dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia
oleh Marthen Manggeng
42
Tinjauan Teologis
INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual Edisi No. 8 - Semester Genap 2005
kebisuan. Diam atau bisu dalam konteks yang
dimaksud Freire bukan karena protes atas perlakuan
yang tidak adil. Itu juga bukan strategi untuk menahan
intervensi penguasa dari luar. Tetapi, budaya bisu
yang terjadi adalah karena bisu dan bukan membisu.
Mereka dalam budaya bisu memang tidak tahu apaapa.
Mereka tidak memiliki kesadaran bahwa mereka
bisu dan dibisukan. Karena itu, menurut Freire untuk
menguasai realitas hidup ini termasuk menyadari
kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai
bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam
mengungkapkan realitas. Untuk itu, pendidikan yang
dapat membebaskan dan memberdayakan adalah
pendidikan yang melaluinya nara didik dapat
mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang
relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah
mengajar untuk memampukan mereka
mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari
luar termasuk suara sang pendidik.
Dalam konteks yang demikian itulah Freire bergumul.
Ia terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya
yang tertindas dan yang telah “dibisukan”. Pendidikan
“gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber
yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu.
Karena itulah, ia menawarkan pendidikan “hadapmasalah”
sebagai jalan membangkitkan kesadaran
masyarakat bisu.
b. Kritikan Paulo Freire Terhadap Pendidikan “Gaya
Bank”.
Dalam sistem pendidikan yang diterapkan di Brasilia
pada masa Freire, anak didik tidak dilihat sebagai
yang dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat sebagai
benda yang seperti wadah untuk menampung
sejumlah rumusan/dalil pengetahuan. Semakin
banyak isi yang dimasukkan oleh gurunya dalam
“wadah” itu, maka semakin baiklah gurunya. Karena
itu semakin patuh wadah itu semakin baiklah ia. Jadi,
murid/nara didik hanya menghafal seluruh yang
diceritrakan oleh gurunya tanpa mengerti12. Nara
didik adalah obyek dan bukan subyek. Pendidikan
yang demikian itulah yang disebut oleh Freire sebagai
pendidikan “gaya bank”. Disebut pendidikan gaya
bank sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak
memberikan pengertian kepada nara didik, tetapi
memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada
siswa untuk disimpan yang kemudian akan
dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan.
Nara didik adalah pengumpul dan penyimpan
sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya nara
didik itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya
daya cipta. Karena itu pendidikan gaya bank
menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan
penindasan terhadap sesamanya manusia.
Pendidikan “gaya bank” itu ditolak dengan tegas oleh
Paulo Freire. Penolakannya itu lahir dari
pemahamannya tentang manusia. Ia menolak
pandangan yang melihat manusia sebagai mahluk
pasif yang tidak perlu membuat pilihan-pilihan atas
tanggung jawab pribadi mengenai pendidikannya
sendiri13. Bagi Freire manusia adalah mahluk yang
berelasi dengan Tuhan, sesama dan alam. Dalam
relasi dengan alam, manusia tidak hanya berada di
dunia tetapi juga bersama dengan dunia14. Kesadaran
akan kebersamaan dengan dunia menyebabkan
manusia berhubungan secara kritis dengan dunia.
Manusia tidak hanya bereaksi secara refleks seperti
binatang, tetapi memilih, menguji, mengkaji dan
mengujinya lagi sebelum melakukan tindakan15. Tuhan
memberikan kemampuan bagi manusia untuk
memilih secara reflektif dan bebas. Dalam relasi
seperti itu, manusia berkembang menjadi suatu
pribadi yang lahir dari dirinya sendiri.
Bertolak dari pemahaman yang demikian itu, maka ia
menawarkan sistem pendidikan alternatif sebagai
pengganti pendidikan “gaya bank” yang ditolaknya.
Sistem pendidikan alternatif yang ditawarkan Freire
disebut pendidikan “hadap-masalah”.
c. Pendidikan “Hadap-Masalah”: Suatu Pendidikan
Alternatif.
Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan
alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari
konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah
yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan
hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara
terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada
dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas
dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada
nara didik supaya ada kesadaran akan realitas itu.
Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada
pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi
untuk berkreasi dalam realitas dan untuk
membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi
dan politik16.
Kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang
dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatu
tingkah laku kritis dalam diri nara didik. Freire
membagi empat tingkatan kesadaran manusia, yaitu17
:
1) Kesadaran intransitif dimana seseorang hanya
terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan
sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang
menindas.
2) Kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis.
Kesadaran ini terjadi dalam masyarakat berbudaya
43
Tinjauan Teologis
INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual Edisi No. 8 - Semester Genap 2005
bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran
ini adalah fatalistis. Hidup berarti hidup di bawah
kekuasaan orang lain atau hidup dalam
ketergantungan.
3) Kesadaran Naif. Pada tingkatan ini sudah ada
kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali
realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang
primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan diri
dengan elite, kembali ke masa lampau, mau
menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi
kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan
dialog18.
4) Kesadaran kritis transitif. Kesadaran kritis transitif
ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalahmasalah,
percaya diri dalam berdiskusi, mampu
menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog.
Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat
hubungan sebab akibat.
Bagi Freire pendidikan yang membebaskan adalah
pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis
transitif. Memang ia tidak bermaksud bahwa
seseorang langsung mencapai tingkatan kesadaran
tertinggi itu, tetapi belajar adalah proses bergerak dari
kesadaran nara didik pada masa kini ke tingkatan
kesadaran yang di atasnya.
Dalam proses belajar yang demikian kontradiksi gurumurid
(perbedaan guru sebagai yang menjadi sumber
segala pengetahuan dengan murid yang menjadi
orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Nara didik
tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yang
harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya
guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid
adalah sama-sama belajar dari masalah yang
dihadapi. Guru dan nara didik bersama-sama sebagai
subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru
bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang
memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman
dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu,
nara didik adalah partisipan aktif dalam dialog
tersebut.
Materi dalam proses pendidikan yang demikian tidak
diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam
buku paket tetapi sejumlah permasalahan.
Permasalahan itulah yang menjadi topik dalam diskusi
dialogis itu yang diangkat dari kenyataan hidup yang
dialami oleh nara didik dalam konteksnya sehari-hari,
misalnya dalam pemberantasan buta huruf. Pertamatama
peserta didik dan guru secara bersama-sama
menemukan dan menyerap tema-tema kunci yang
menjadi situasi batas (permasalahan) nara didik.
Tema-tema kunci tersebut kemudian didiskusikan
dengan memperhatikan berbagai kaitan dan
dampaknya. Dengan proses demikian nara didik
mendalami situasinya dan mengucapkannya dalam
bahasanya sendiri. Inilah yang disebut oleh Freire
menamai dunia dengan bahasa sendiri. Kata-kata
sebagai hasil penamaan sendiri itu kemudian dieja
dan ditulis. Proses demikian semakin diperbanyak
sehingga nara didik dapat merangkai kata-kata dari
hasil penamaannya sendiri.
d. Relevansi Pemikiran Freire dalam Konteks I
ndonesia.
Allen J.Moore mengatakan bahwa konsep Freire yang
dirumuskan dalam konteks Amerika Latin tidak bisa
diterapkan begitu saja dalam konteks yang berbeda
sebab situasinya dan permasalahannya tidak sama19.
Peringatan Moore ini adalah satu kendali supaya kita
tidak bertindak naif dalam menganalisis suatu
permasalahan dalam konteks yang khas. Hal itu
sekaligus menjadi peringatan supaya kritikan Freire
dapat dipakai secara kritis dalam menganalisis
permasalahan pendidikan di berbagai belahan dunia
termasuk di Indonesia.
Memang harus diakui bahwa konteks permasalahan
Amerika Latin, khususnya Brasilia tidak sama persis
dengan permasalahan dalam masyarakat Indonesia,
tetapi dalam banyak hal kita menemukan persamaan.
Masyarakat Indonesia yang terdiri atas suku-suku
adalah masyarakat hierarkis yang nampak dalam
strata sosial yang mempunyai sebutan khas di
berbagai daerah. Sebagai contoh adalah stratifikasi
sosial dalam masyarakat Toraja dan dalam
masyarakat Bali. Dalam masyarakat Toraja strata
sosial disebut “Tana’”. Tana’ Bulawan (strata tertinggi)
adalah pemilik budak (tana’ koa-koa) dan sekaligus
pemilik harta dan kekuasaan yang “mutlak”. Walaupun
strata sosial ini sudah tidak terlalu nampak tetapi justru
telah lahir suatu strata sosial baru yang prakteknya
hampir sama dengan feodalisme tradisional.
Pemegang kendali dalam feodalisme modern adalah
kelompok pedagang/pengusaha yang menguasai
ekonomi lebih dari setengah kekayaan yang ada.
Kelompok tersebut mengakumulasikan kekayaan
kurang lebih 80 % kekayaan Indonesia padahal
jumlah mereka tidak lebih dari 20 % dari jumlah
penduduk. Kedua kelompok “penindas” tersebut
semakin memperkokoh kekuasaannya sebab secara
praktik hanya mereka yang mampu menyekolahkan
anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi yang
sangat mahal dan terpola dalam sistem kekuasaan itu.
Generasi itulah yang kemudian menjadi pewaris
“tahta penindasan”. Kalau ada dari kelompok rakyat
kecil yang mampu mengecap pendidikan tinggi, ia
akan berubah menjadi pemegang kendali feodalisme
44
Tinjauan Teologis
INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual Edisi No. 8 - Semester Genap 2005
baru itu baik dalam rangka balas dendam maupun
dalam “penindasan” terhadap sesamanya kaum
“tertindas”.
Salah satu kritikan Freire adalah pendidikan yang
berupaya membebaskan kaum tertindas untuk
menjadi penindas baru. Bagi Freire pembebasan
kaum tertindas tidak dimaksudkan supaya ia bangkit
menjadi penindas yang baru, tetapi supaya sekaligus
membebaskan para penindas dari
kepenindasannya20.
Dalam proses belajar mengajar, pemerintah Republik
Indonesia telah mengupayakan untuk menerapkan
pendekatan cara belajar siswa aktif (CBSA), tetapi
hanya metodenya sajalah yang CBSA. Sementara
materi yang disampaikan masih merupakan barang
asing yang tidak lahir dari dalam konteks dimana
manusia itu ada sehingga pada akhirnya siswa
kembali menjadi “bank” penyimpanan sejumlah
pengetahuan. Memang siswa aktif belajar dan
mungkin berdiskusi dalam kelas tetapi yang
didiskusikan dan dipelajari dalam kelas adalah
sejumlah dalil dan rumus yang tidak punya hubungan
dengan kehidupannya. Lagi pula relasi guru-siswa
adalah pengajar dan yang diajar. Siswa adalah yang
belum tahu dan harus diberitahu sedangkan guru
adalah yang sudah tahu dan akan memberitahukan.
Pelaksanaan Pendidikan agama dalam gereja juga
tidak jauh berbeda dengan pendidikan dalam
sekolah-sekolah umum. Bahkan mungkin lebih
memprihatinkan sebab justru dalam gereja
pendekatan “indoktrinasi” lebih mendapat tekanan
yang dominan. Pengajaran di Sekolah Minggu dan
Katekisasi dan juga dalam kebaktian umum, peserta
didik atau kebaktian diisi dengan sejumlah doktrin
yang asing. Doktrin-doktrin religius yang dirumuskan
dalam konteks yang berbeda dengan konteks
Indonesia masih menjadi senjata andalan untuk
“membungkam” kreativitas iman anggota Jemaat.
Alkitab sebagai sumber pengetahuan iman belum
diupayakan untuk dibaca dan dipahami dalam
konteks masyarakat Indonesia. Bukankah itu semua
yang disebut oleh Paulo Freire dengan pendidikan
“gaya bank”?
Catatan Kaki
1Denis Colins, Paulo Freire His Life, Works and Thought
(New York: Paulist Press, 1977), p. 5.
2Sumaryo, “Pendidikan Yang Membebaskan” dalam
Martin Sardy, Mencari Identitas Pendidikan
(Bandung: Alumni, 1981), p. 29. Cf Aloys Maryoto,
“Pendidikan Sebagai Proses Penyadaran Menurut
Paulo Freire” dalam “Fenomena” Edisi 2/Th.V/1994,
p.18.
3Denis Colins, op.cit., p. 6.
4Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta:
LP3S, 1972), p. xii.
5Paulo Freire dan Antonio Faundez, Belajar Bertanya.
Pendidikan Yang Membebaskan (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1995), p. 6.
6Daniel S.Schipani, Religious Education Encounters
Liberation Theology (Alabama: Religious Education
Press, 1988), p. 12.
7Sumaryo, op. cit., p. 30.
8Aloys Maryoto, “Pendidikan Sebagai Proses
Penyadaran Menurut Paulo Freire” dalam “Fenomena”
Edisi 2/Th.V/1994, p. 18.
9Mudji Sutrisno, Pendidikan Pemerdekaan (Jakarta:
Penerbit Obor, 1995), p. 33.
10L. Subagi, “Kritik Atas: Konsientisasi dan Pendidikan.
Teropong Paulo Freire dan Ivan Illich”, dalam Martin
Sardy (ed.),Pendidikan Manusia (Bandung: Alumni,
1985), pp. 104-105.
11 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, pp. 1-4.
12Op. cit., p. 50.
13L. Subagi, op. cit.
14 Paulo Freire, Cultural Action For Freedom (Baltimore:
Penguin Book, 1970 ), p. 51.
15 Mudji Sutrisno, op. cit., p. 32.
16Daniel S. Schipani, Religious Education Encounters
Liberation Theology (Alabama: Religious Education
Press, 1988), p. 13.
17L.Subagi, op.cit., pp. 137-138. Cf. Mudji Sutrisno,
op.cit., pp. 41-42.
18Paulo Freire, Education For Critical Consciousness
(New York: The Seabury Press, 1973 ), p. 18.
19 Allen J.Moore, “Liberation and the Future of Christian
Education” dalam Jack L. Seymour and Donald E.Miller
(Ed.), Contemporary Approaches to Christian Education
(Nashville: Abingdon Press, 1984), pp. 106-110.
20Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, pp.10-12. Cf.
J.B. Banawiratma, Iman, Pendidikan dan Perubahan
Sosial (Yogyakarta: Kanisius, 1991), p. 73.

Nicolaus Copernicus

Niklas Koppernigk (latin: Nicolaus Copernicus; bahasa Polandia Mikołaj Kopernik; lahir di Toruń, 19 Februari 1473 – wafat di Frombork, 24 Mei 1543 pada umur 70 tahun) adalah seorang astronom, matematikawan, dan ekonom berkebangsaan Polandia, yang mengembangkan teori heliosentrisme (berpusat di matahari) Tata Surya dalam bentuk yang terperinci, sehingga teori tersebut bermanfaat bagi sains. Ia juga seorang kanon gereja, gubernur dan administrator, hakim, astrolog, dan tabib. Teorinya tentang matahari sebagai pusat Tata Surya, yang menjungkirbalikkan teori geosentris tradisional (yang menempatkan Bumi di pusat alam semesta) dianggap sebagai salah satu penemuan yang terpenting sepanjang masa, dan merupakan titik mula fundamental bagi astronomi modern dan sains modern (teori ini menimbulkan revolusi ilmiah). Teorinya memengaruhi banyak aspek kehidupan manusia lainnya. Universitas Nicolaus Copernicus di Torun, didirikan tahun 1945, dinamai untuk menghormatinya.
“Ada beberapa 'pembual' yang berupaya mengkritik karya saya, padahal mereka sama sekali tidak tahu matematika, dan dengan tanpa malu menyimpangkan makna beberapa ayat dari Tulisan-Tulisan Kudus agar cocok dengan tujuan mereka, mereka berani mengecam dan menyerang karya saya; saya tidak khawatir sedikit pun terhadap mereka, bahkan saya akan mencemooh kecaman mereka sebagai tindakan yang gegabah”.

Nikolaus Kopernikus menulis kata-kata yang dikutip di atas kepada Paus Paulus III. Kopernikus mencantumkan kata-kata itu dalam karya terobosannya yang berjudul On the Revolutions of the Heavenly Spheres (Mengenai perputaran Bola-Bola Langit), yang diterbitkan pada thaun 1543. Mengenai pandangan yang dinyatakan dalam karyanya ini, Christoph Clavius, seorang imam Yesuit pada abad ke-16, mengatakan, "Teori Kopernikus memuat banyak pernyataan yang tidak masuk akal atau salah". Teolog Jerman, Martin Luther, menyayangkan, "Si dungu itu akan mengacaukan seluruh ilmu astronomi".

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Latar Belakang Pemuda yang Haus Pengetahuan

Lahir pada tanggal 19 Februari 1473 di Toruń, yang pada waktu itu di bawah kekuasaan suatu ordo Kristen bernama Ordo Teutonicum, nama aslinya ialah Niklas Koppernigk (Mikołaj Kopernik, dalam bahasa Polandia yang merupakan bahasa sehari-hari pada waktu itu). Baru belakangan, sewaktu ia mulai menulis karya akademinya, ia menggunakan nama Latin, Nicolaus Copernicus. Ayahnya, seorang saudagar yang berdagang di Toruń, mempunyai empat anak; Nicolaus adalah si bungsu. Sewaktu Nicolaus berusia 11 tahun, ayahnya meninggal. Seorang paman, bernama Lucas Waczenrode, mengasuh Nicolaus dan saudara-saudara kandungnya. Ia membantu Nicolaus memperoleh pendidikan yang baik, menganjurkannya untuk menjadi imam.

Pendidikan Nicolaus dimulai di kampung halamannya, tetapi belakangan dilanjutkan di Chełmno yang tidak jauh dari situ. Di sana ia belajar bahasa Latin dan mempelajari karya para penulis kuno. Pada usia 18 tahun, ia pindah ke Kraków, ibu kota Polandia saat itu. Di kota ini ia kuliah di universitas dan mengajar dan mengejar hasratnya akan astronomi. Setelah ia menyelesaikan pendidikannya di Kraków, paman dari Nikolaus — yang pada waktu itu telah menjadi uskup di Warmia — memintanya untuk pindah ke Frombork, sebuah kota di Laut Baltik. Waczenrode ingin kemenakannya menduduki jabatan staf katedral.

Akan tetapi, Nicolaus yang berusia 23 tahun ingin memuaskan dahaganya akan pengetahuan dan berhasil membujuk pamannya untuk mengizinkan dia mempelajari hukum gereja, kedokteran, dan matematika di berbagai universitas di Bologna dan Padua, Italia. Di sana, Nicolaus bergabung dengan astronom Domenico Maria Novara dan filsuf Pietro Pomponazzi. Sejarawan Stanisław Brzostkiewicz mengatakan bahwa ajaran Pomponazzi telah "membebaskan pikiran astronom muda ini dari cengkraman ideologi abad pertengahan".

Di waktu senggangnya, Copernicus mempelajari karya para astronom zaman dahulu, menjadi begitu larut dalam karya tersebut sampai-sampai ketika ia mengetahui karya Latin itu tidak lengkap, ia mempelajari bahasa Yunani agar dapat meneliti naskah aslinya. Pada akhir pendidikannya, Nicolaus telah menjadi doktor hukum gereja, matematikawan, dan dokter. Ia juga pakar bahasa Yunani, menjadi orang pertama yang menerjemahkan sebuah dokumen dari bahasa Yunani langsung ke bahasa Polandia.

[sunting] Menelurkan Teori yang Revolusioner

Sepulangnya ke Polandia, pamannya melantik dia sebagai sekretaris, penasihat, dan dokter pribadinya — suatu kedudukan yang bergensi. Selama puluhan tahun berikutnya, Nicolaus menjabat berbagai kedudukan administratif, baik di bidang agama maupun sipil. Meski sangat sibuk, ia melanjutkan penelitiannya tentang bintang dan planet, mengumpulkan bukti untuk mendukung suatu teori yang revolusioner—bahwa bumi bukan pusat yang tidak bergerak dari alam semesta tetapi, sebenarnya, bergerak mengitari matahari.

Teori ini bertentangan dengan ajaran filsuf yang terpandang, Aristoteles, dan tidak sejalan dengan kesimpulan matematikawan Yunani, Ptolemeus. Selain itu, teori Copernicus menyangkal apa yang dianggap sebagai "fakta" bahwa matahari terbit di timur dan bergerak melintasi angkasa untuk terbenam di barat, sedangkan bumi tetap tidak bergerak.

Copernicus bukanlah orang yang pertama yang menyimpulkan bahwa bumi berputar mengitari matahari. Astronom Yunani Aristarkhus dari Samos telah mengemukakan teori ini pada abad ketiga SM. Para pengikut Pythagoras telah mengajarkan bahwa bumi serta matahari bergerak mengitari suatu api pusat. Akan tetapi, Ptolemeus menulis bahwa jika bumi bergerak, "binatang dan benda lainnya akan bergelantungan di udara, dan Bumi akan jatuh dari langit dengan sangat cepat". Ia menambahkan, "sekadar memikirkan hal-hal itu saja tampak konyol".

Ptolemeus mendukung gagasan Aristoteles bahwa bumi tidak bergerak di pusat alam semesta dan dikelilingi oleh serangkaian bola bening yang saling bertumpukan, dan bola-bola itu tertancap matahari, planet-planet, dan bintang-bintang. Ia menganggap bahwa pergerakan bola-bola bening inilah yang menggerakan planet dan bintang. Rumus matematika Ptolemeus menjelaskan, dengan akurasi hingga taraf tertentu, pergerakan planet-planet di langit malam.

Namun, kelemahan teori Ptolemeus itulah yang mendorong Copernicus untuk mencari penjelasan alternatif atas pergerakan yang aneh dari planet-planet. Untuk menopang teorinya, Kopernikus merekonstruksi peralatan yang digunakan oleh para astronom zaman dahulu. Walaupun sederhana dibandingkan dengan standar modern, peralatan ini memungkinkan dia menghitung jarak relatif antara planet-planet dan matahari. Selama bertahun-tahun, ia berupaya menetukan secara persis tanggal-tanggal manakala para pendahulunya telah membuat beberapa pengamatan penting di bidang astronomi. Diperlengkapi dengan data ini, Copernicus mulai mengerjakan dokumen kontroversial yang menyatakan bahwa bumi dan manusia di dalamnya bukanlah pusat alam semesta.

[sunting] Kontroversi atas Manuskrip

Monumen Copernicus di Warsawa, Polandia yang dipahat oleh Bertel Thorvaldsen

Copernicus menggunakan tahun-tahun terakhir kehidupannya untuk memperbaiki dan melengkapi berbagai argumen dan rumus matematika yang menopang teorinya. Lebih dari 95 persen dokumen akhir itu memuat perincian teknis yang mendukung kesimpulannya. Dokumen tulisan tangan orisinal ini masih ada dan disimpan di Universitas Jagiellonian di Kraków, Polandia. Dokumen ini tidak berjudul. Oleh karena itu, astronom Fred Hoyle menulis, "Kita benar-benar tidak tahu bagaimana Copernicus ingin menamai bukunya itu".

Bahkan sebelum karya itu diterbitkan, isinya telah membangkitkan minat. Copernicus telah menerbitkan sebuah rangkuman singkat tentang gagasannya dalam sebuah karya yang disebut Commentariolus. Alhasil, laporan tentang penelitiannya sampai ke Jerman dan Roma. Pada awal tahun 1533, Paus Klemens VII mendengar tentang teori Copernicus. Dan, pada tahun 1536, Kardinal Schönberg menyurati Copernicus, mendesak dia untuk menerbitkan catatan lengkap gagasannya. Georg Joachim Rhäticus, seorang profesor di Universitas Wittenberg di Jerman, begitu penasaran oleh karya Copernicus sampai-sampai ia mengunjungi Copernicus dan akhirnya menghabiskan waktu bersamanya selama dua tahun. Pada tahun 1542, Rhäticus membawa pulang sebuah salinan manuskrip itu ke Jerman dan menyerahkannya kepada seorang tukang cetak bernama Petraeius dan seorang juru tulis sekaligus korektor tipografi bernama Andreas Osiander.

Osiander menjuduli karya itu De revolutionibus orbium coelestium (Mengenai Perputaran Bola-Bola Langit). Dengan mencantumkan frasa “bola-bola langit”, Osiander menyiratkan bahwa karya itu dipengaruhi oleh gagasan Aristoteles. Osiander juga menulis kata pengantar anonim, yang menyatakan bahwa hipotesis dalam buku itu bukanlah artikel tentang iman dan belum tentu benar. Copernicus tidak menerima salinan dari buku yang dicetak itu, yang diubah dan dikompromikan tanpa seizinnya, sampai hanya beberapa jam sebelum kematiannya pada tahun 1543.

Dalam pemikiran manusia, ia juga “menghentikan matahari dan menggerakkan bumi”.

[sunting] "Mengenai Perputaran" — Karya yang Revolusioner

Perubahan yang dibuat Osiander pada mulanya meluputkan buku itu dari kecaman. Asronom dan fisikawan Italia, Galileo, belakangan menulis, "Sewaktu dicetak, buku itu diterima oleh Gereja suci dan telah dibaca dan dipelajari oleh setiap orang tanpa sedikit pun kecurigaan bahwa gagasan ini bertentangan dengan doktrin-doktrin gereja. Namun, mengingat sekarang ada berbagai pengalaman dan bukti penting yang memperlihatkan bahwa gagasan itu memiliki bukti yang kuat, muncullah orang-orang yang hendak mendiskreditkan pengarangnya tanpa membaca bukunya sedikit pun".

Kaum Lutheran merupakan yang pertama-tama menyebut buku itu "tidak masuk akal". Gereja Katolik, meski pada mulanya tidak menyatakan kecaman, memutuskan bahwa buku itu bertentangan dengan doktrin resminya dan pada tahun 1616 mencantumkan karya Copernicus ke dalam buku-buku terlarang. Buku itu baru dicabut dari daftar ini pada tahun 1828. Dalam kata pengantarnya untuk terjemahan bahasa Inggris dari buku itu, Charles Glenn Wallis menjelaskan, "Pertikaian antara Katolik dan Protestan membuat kedua sekte itu takut pada skandal apa pun yang tampaknya dapat merongrong respek terhadap Kegerejaan Alkitab, dan akibatnya mereka menjadi terlalu harfiah dalam membaca ayat Alkitab dan cenderung mengutuki setiap pernyataan yang dapat dianggap sebagai penyangkalan atas setiap penafsiran harfiah dari setiap ayat dalam Alkitab". Sebagai contoh, kisah yang dicatat di Yosua 10:13, yang menceritakan tentang matahari yang dibuat tidak bergerak, digunakan untuk menegaskan bahwa matahari, bukan bumi, yang biasanya bergerak. Mengenai anggapan bahwa teori Kopernikus bertentangan dengan ajaran Alkitab, Galileo menulis, " [Copernicus] tidak mengabaikan Alkitab, tetapi ia tahu betul bahwa jika doktrinnya terbukti, hal itu tidak akan bertentangan dengan Alkitab apabila ayat-ayatnya dipahami denagn benar".

Dewasa ini, Copernicus disanjung oleh banyak orang sebagai Bapak Astronomi Modern. Memang, uraiannya tentang alam semesta telah dimurnikan dan diperbaiki oleh ilmuwan yang tekemudian, seperti Galileo, Kepler, dan Newton. Akan tetapi, astofisikawan Owen Gingerich mengomentari, "Copernicuslah yang dengan karyanya memperlihatkan kepada kita bagaimana rapuhnya konsep ilmiah yang sudah diterima untuk waktu yang lama". Melalui penelitian, pengamatan, dan matematika, Kopernikus menjungkirkbalikkan konsep ilmiah dan agama yang berurat berakar tetapi keliru. Dalam pemikiran manusia, ia juga “menghentikan matahari dan menggerakkan bumi”.

[sunting] Kontroversi kewarganegaraan

Kewarganegaraan Copernicus mulai abad ke-19 menjadi bahan perdebatan sengit. Namun sebenarnya ia bisa dikategorisasikan baik sebagai warga Jerman maupun Polandia. Dalam bahasa Jerman namanya secara umum dieja sebagai Kopernikus dan merupakan versi Latin dari nama Jerman Koppernigk. Dalam bahasa Polandia namanya dieja sebagai Mikołaj Kopernik. Ibu Kopernikus yang bernama Barbara Watzenrode merupakan seorang warga Jerman. Sedangkan kewarganegaraan ayahnya tidak diketahui. Kota kelahirannya Toruń tidak lama sebelum ia lahir dikuasai raja-raja Polandia, sehingga ia bisa dianggap sebagai warga Polandia.

[sunting] Referensi

  • Awake! July 22, 2005, p. 14-7, Watchtower Bible and Tract Society of New York, Inc.
  • Sedarlah! 22 Juli 2005, h. 14-7, Watchtower Bible and Tract Society of New York, Inc.

[sunting] Pranala luar

NICOLAUS COPERNICUS 1473-1543

Astronom (ahli perbintangan) berkebangsaan Polandia yang bernama Nicolaus Copernicus (nama Polandianya: Mikolaj Kopernik), dilahirkan tahun 1473 di kota Torun di tepi sungai Vistula, Polandia. Dia berasal dari keluarga berada. Sebagai anak muda belia, Copernicus belajar di Universitas Cracow, selaku murid yang menaruh minat besar terhadap ihwal ilmu perbintangan. Pada usia dua puluhan dia pergi melawat ke Italia, belajar kedokteran dan hukum di Universitas Bologna dan Padua yang kemudian dapat gelar Doktor dalam hukum gerejani dari Universitas Ferrara. Copernicus menghabiskan sebagian besar waktunya tatkala dewasa selaku staf pegawai Katedral di Frauenburg (istilah Polandia: Frombork), selaku ahli hukum gerejani yang sesungguhnya Copernicus tak pernah jadi astronom profesional, kerja besarnya yang membikin namanya melangit hanyalah berkat kerja sambilan.

Selama berada di Italia, Copernicus sudah berkenalan dengan ide-ide filosof Yunani Aristarchus dari Samos (abad ke-13 SM). Filosof ini berpendapat bahwa bumi dan planit-planit lain berputar mengitari matahari. Copernicus jadi yakin atas kebenaran hipotesa "heliocentris" ini, dan tatkala dia menginjak usia empat puluh tahun dia mulai mengedarkan buah tulisannya diantara teman-temannya dalam bentuk tulisan-tulisan ringkas, mengedepankan cikal bakal gagasannya sendiri tentang masalah itu. Copernicus memerlukan waktu bertahun-tahun melakukan pengamatan, perhitungan cermat yang diperlukan untuk penyusunan buku besarnya De Revolutionibus Orbium Coelestium (Tentang Revolusi Bulatan Benda-benda Langit), yang melukiskan teorinya secara terperinci dan mengedepankan pembuktian-pembuktiannya.

Di tahun 1533, tatkala usianya menginjak enam puluh tahun, Copernicus mengirim berkas catatan-catatan ceramahnya ke Roma. Di situ dia mengemukakan prinsip-prinsip pokok teorinya tanpa mengakibatkan ketidaksetujuan Paus. Baru tatkala umurnya sudah mendekati tujuh puluhan, Copernicus memutuskan penerbitan bukunya, dan baru tepat pada saat meninggalnya dia dikirimi buku cetakan pertamanya dari si penerbit. Ini tanggal 24 Mei 1543.

Dalam buku itu Copernicus dengan tepat mengatakan bahwa bumi berputar pada porosnya, bahwa bulan berputar mengelilingi matahari dan bumi, serta planet-planet lain semuanya berputar mengelilingi matahari. Tapi, seperti halnya para pendahulunya, dia membuat perhitungan yang serampangan mengenai skala peredaran planet mengelilingi matahari. Juga, dia membuat kekeliruan besar karena dia yakin betul bahwa orbit mengandung lingkaran-lingkaran. Jadi, bukan saja teori ini ruwet secara matematik, tapi juga tidak betul. Meski begitu, bukunya lekas mendapat perhatian besar. Para astronom lain pun tergugah, terutama astronom berkebangsaan Denmark, Tycho Brahe, yang melakukan pengamatan lebih teliti dan tepat terhadap gerakan-gerakan planet. Dari data-data hasil pengamatan inilah yang membikin Johannes Kepler akhirnya mampu merumuskan hukum-hukum gerak planet yang tepat.


Sistem alam semesta Copernicus

Meski Aristarchus lebih dari tujuh belas abad lamanya sebelum Copernicus sudah mengemukakan persoalan-persoalan menyangkut hipotesa peredaran benda-benda langit, adalah layak menganggap Copernicuslah orang yang memperoleh penghargaan besar. Sebab, betapapun Aristarchus sudah mengedepankan pelbagai masalah yang mengandung inspirasi, namun dia tak pernah merumuskan teori yang cukup terperinci sehingga punya manfaat dari kacamata ilmiah. Tatkala Copernicus menggarap perhitungan matematik hipotesa-hipotesa secara terperinci, dia berhasil mengubahnya menjadi teori ilmiah yang punya arti dan guna. Dapat digunakan untuk dugaan-dugaan, dapat dibuktikan dengan pengamatan astronomis, dapat bermanfaat di banding lain-lain teori yang terdahulu bahwa dunialah yang jadi sentral ruang angkasa.

Jelaslah dengan demikian, teori Copernicus telah merevolusionerkan konsep kita tentang angkasa luar dan sekaligus sudah merombak pandangan filosofis kita. Namun, dalam hal penilaian mengenai arti penting Copernicus, haruslah diingat bahwa astronomi tidaklah mempunyai jangkauan jauh dalam penggunaan praktis sehari-hari seperti halnya fisika kimia dan biologi. Sebab, hakekatnya orang bisa membikin peralatan televisi, mobil, atau pabrik kimia modern tanpa mesti secuwil pun menggunakan teori Copernicus. (Sebaliknya, orang tidak bakal bisa membikin benda-benda itu tanpa menggunakan buah pikiran Faraday, Maxwell, Lavosier atau Newton).

Tetapi, jika semata-mata kita mengarahkan perhatian hanya semata-mata kepada pengaruh langsung Copernicus di bidang teknologi, kita akan kehilangan arti penting Copernicus yang sesungguhnya. Buku Copernicus punya makna yang tampaknya tak memungkinkan baik Galileo maupun Kepler menyelesaikan kerja ilmiahnya. Kesemua mereka adalah pendahulu-pendahulu yang penting dan menentukan bagi Newton, dan penemuan merekalah yang membikin kemungkinan bagi Newton merumuskan hukum-hukum gerak dan gaya beratnya. Secara historis, penerbitan De Revolutionobus Orbium Coelestium merupakan titik tolak astronomi modern. Lebih dari itu, merupakan titik tolak pengetahuan modern.

Situs Web

Jumat, 06 Februari 2009

Pesta Adat Perang Ketupat Tempilang Bangka Barat


Pesta adat perang ketupat di Desa Tempilang, Kabupaten Bangka Barat, yang dilaksanakan satu kali setahun di tepi Pantai Pasir Kuning dibanjiri masyarakat dari Kota dan Kabupaten di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

"Pesta adat perang ketupat, Desa Tempilang telah dilaksanakan sejak zaman penjajahan Portugis dan terus berkesinambungan hingga saat ini dengan tujuan untuk menghibur masyarakat, sillaturahmi serta mengingat sejarah nenek moyang," kata Ketua Adat Desa Tempilahan, Keman (40), Muntok, Minggu.

Pesta tersebut dihadiri sekitar 1.000 penonton yang memenuhi Pantai Pasir Kuning, Desa Tempilang, Muntok, Kabupaten Bangka Barat.

Menurut Keman, jumlah peserta perang ketupat tidak ada aturan baku, namun untuk kali ini pihak adat menurunkan delapan orang peserta perang ketupat yang terdiri dari empat orang dari kubu darat dan empat orang dari kubu laut.

"Dalam kegiatan pesta ketupat kali ini ada sekitar 50 ketupat yang dibuat warga secara bersama-sama dari beras yang disiapkan untuk dilemparkan dalam acara itu untuk menyemarakkan pesta Adat perang ketupat di Desa Tempilang," ujarnya.

Ia juga menjelaskan, setiap tahunnya pada pertengahan bulan Sya`ban tahun Hijriah dilaksankan upacara tradisional desa Tempilang (Upacara Perang Ketupat) dan upacara tradisional itu dilaksanakan dengan lima tahapan yaitu Penimbongan, Ngancak, Perang Ketupat, Ngayok Perae, Taber Kampong.

Penimbong adalah memberikan makanan kepada makhluk halus yang dipercayai bertempat tinggal di darat. Menurut para dukun makhluk halus itu termasuk makhluk halus baik dan dipercayai sebagai penjaga masyarakat kampung terhadap serangan makhluk jahat dari luar desa Tempilang.

Dalam prosesi acara Penimbong juga di semarakkan dengan Tarian Campak, Tarian Serimbang, Tarian Kedidi, Tari Seramao.

Ngangcak adalah pemberian makanan kepada makhluk-makhluk halus yang bermukim di laut terutama si hewan buaya.

Setelah proses ritual Penimbong dan Ngancak dilaksanakan, barulah dilanjutkan dengan prosesi Perang Ketupat dan Ngayok Perae (menghanyutkan Perahu).

Acara pesta adat perang ketupat, Desa Tempilang ditutup dengan ritual Taber Kampong (menabur kampong dengan air tabur, bunga pinang) dengan harapan rumah masyarakat terhindar dari bencana dalam setahun ke depan.

Kegiatan Taber Kampong dilaksanakan dengan tujuan untuk mebuang tasak besek (penyakit kulit) dan buyung sumbang (perzinahan).

Menurut salah seorang pengunjung, Jamiah (30), kegiatan perang ketupat yang dilaksanakan sangat bagus, selain untuk mengingat kembali kebudayaan daerah, juga dapat menghibur masyarakat yang datang.

"Kegiatan pesta adat perang ketupat di Desa Tempilang cuma satu kali setahun dan oleh sebab itu tidak bisa dilewatkan begitu saja," ujarnya menambahkan.
Sumber : Antara